Sekitar 40.000 penduduk Mariupol telah dibawa oleh pasukan Rusia ke Republik Raykat Donetsk (DPR) atau Federasi Rusia. Pernyataan ini berdasar pada data dari otoritas setempat yang disampaikan oleh Komisaris Verkhovna Rada untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Liudmyla Denisova melalui pesan Telegramnya. "Menghitung orang yang dideportasi itu sangat rumit, karena mereka (pasukan Rusia) menyita dokumen Ukraina dari orang orang itu," kata Denisova.
Dikutip dari laman Ukrinform, Senin (4/4/2022), Denisova menyampaikan bahwa Rusia bahkan memisahkan orang tua dari anak anak mereka. Sebanyak 17 anak dibawa Rusia dari sebuah rumah sakit di Mariupol, sedangkan orang tuanya ditinggalkan di Mariupol dan dievakuasi ke Zaporizhzhia. "Beberapa warga Mariupol, yang telah dideportasi secara paksa, ditemukan di Estonia, karena mereka datang ke sana dari wilayah Rusia. Demikian pula, orang orang dari wilayah Kherson, wilayah Kharkiv, dan wilayah Lugansk sampai ke Estonia melalui wilayah Rusia," kata Denisova.
Ia menambahkan, beberapa orang mengaku bahwa mereka memutuskan untuk pergi melalui Rusia, karena tidak dapat berangkat menuju Ukraina barat. Namun ada pula orang yang dibawa secara paksa ke Rusia dan kemudian dibiarkan pergi ke tempat lain sendiri. Menurutnya, Rusia secara sengaja melanggar ketentuan Pasal 49 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Orang Sipil pada Saat Perang, berdasarkan pemindahan paksa dan deportasi dari wilayah pendudukan yang dilarang.
"Saya memohon kepada Komite Palang Merah Internasional untuk melakukan segala upaya dan membantu membawa kembali orang orang Ukraina yang dibawa secara ilegal ke Rusia, serta membuka koridor kemanusiaan yang aman dari daerah daerah konflok," tegas Denisova. Denisova juga mendesak Komisi Perserikatan Bangsa bangsa (PBB) yang dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran yang dilakukan selama serangan militer Rusia di Ukraina dan misi ahli OSCE untuk mempertimbangkan bukti pelanggaran HAM Rusia di Ukraina. Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi nasional negara itu pada 24 Februari lalu bahwa sebagai tanggapan atas permintaan para Kepala Republik Donbass, ia telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus ke Ukraina.
Operasi ini dilakukan untuk melindungi orang orang 'yang telah mengalami pelecehan dan genosida oleh rezim Ukraina selama 8 tahun'. Kendati demikian, pemimpin Rusia itu menekankan bahwa negaranya tidak memiliki rencana untuk menduduki wilayah Ukraina. Ia juga menekankan operasi tersebut ditujukan untuk 'denazifikasi dan demiliterisasi Ukraina'.
Sementara itu, negara Barat telah memberlakukan sanksi besar besaran terhadap Rusia karena melakukan invasi ke Ukraina. Penerapan sanksi ditujukan terhadap badan hukum maupun individu swasta Rusia.